G-NEWS (RAEOA) — Presiden Republik Timor Leste José Ramos Horta, dalam pidato resmi kenegaraannya, di hari proklamasi Kemerdekaan 28 November, digelar di Daerah Administratif Khusus Oecusse-Ambeno (RAEOA), mengatakan , proses rekonsiliasi diakui secara internasional sebagai contoh yang patut ditiru.
Di hadapan publik, Kepala Negara José Ramos Horta menekankan pentingnya kebijakan rekonsiliasi nasional.
“Saya ingin menekankan pentingnya kebijakan rekonsiliasi nasional, yang telah banyak berkontribusi pada kohesi dan persatuan nasional, terutama dengan keluarga dan saudara-saudara kita di Timor di perbatasan,” kata Presiden tentang pentingnya rekonsiliasi secara politik.
Menurut Presiden Republik, proses ini, yang diakui secara internasional sebagai contoh untuk diikuti, dapat berjalan lebih cepat dan lebih ambisius dalam hal hasil praktisnya. Namun, rekonsiliasi memerlukan keberanian untuk memutuskan hubungan, mencari kebenaran, dan membina persahabatan di antara semua orang.
“Oleh karena itu, kita harus meninjau kembali ketidakadilan yang terjadi terhadap para korban ideologi ekstremis, terutama mereka yang menderita akibat prosedur radikal berbagai gerakan selama perjuangan kemerdekaan kita, khususnya antara tahun 1975 dan 1981”, tegas Presiden Horta.
Pernyataan ini merujuk pada upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial dan politik yang telah lama membekas dalam masyarakat Timor Leste. Meskipun demikian, Presiden menekankan bahwa proses rekonsiliasi bukanlah sebuah jalan yang mudah. Proses ini membutuhkan keberanian, bukan hanya untuk memutuskan hubungan dengan masa lalu, tetapi juga untuk mencari kebenaran dan membina persahabatan di antara semua elemen bangsa.
Rekonsiliasi, dalam konteks Timor Leste, merujuk pada usaha untuk menyembuhkan luka-luka sosial yang ditinggalkan oleh berbagai konflik sejarah, seperti peristiwa-peristiwa kelam yang terjadi pada masa referendu, kerusuhan sosial, dan ketegangan politik lainnya. Proses ini melibatkan pengakuan terhadap perbedaan, pencarian kebenaran tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, dan upaya untuk membangun hubungan baru yang lebih harmonis antara kelompok-kelompok yang sebelumnya terpecah.
Lebih lanjut Ramos Horta menjelaskan bahwa komitmen terhadap kebenaran, keadilan dan persatuan harus menjadi pedoman masa depan Timor Leste.
“Proses ini, yang diakui secara internasional sebagai contoh untuk diikuti, bisa lebih cepat dan lebih ambisius dalam hal hasil praktisnya. Namun rekonsiliasi membutuhkan keberanian untuk memperkuat hubungan, mencari kebenaran dan memupuk persahabatan di antara semua orang”.
“Saya berharap masa depan Timor-Leste bisa penuh harapan dan peluang. Semoga kita masing-masing, dalam kehidupan sehari-hari, berkomitmen untuk berupaya menjadikan negara kita tempat yang lebih baik bagi semua, tempat di mana semua orang dapat berkembang dalam keharmonisan hati”, Presiden Republik menutup pidato resminya.
Terkait isu politik rekonsiliasi yang menjadi viral menjelang upacara proklamasi kemerdekaan tanggal 28 November, dimana Presiden Republik juga mengundang Eurico Guterres, untuk mengikuti upacara nasional tersebut, namun Eurico menegaskan tidak bisa ikut karena namanya tercantum daftarnya berjumlah 403, tidak boleh keluar wilayah Indonesia termasuk masuk ke Timor Timur.
“Karena persoalan hukum terkait referendum 1999, di mana nama saya masuk dalam daftar 403 orang yang akan dilarang keluar negeri, termasuk Timor Leste,” kata Eurico kepada G-NEWS, Rabu (27112024), melalui WhatsApp.
Dalam pertemuan penting antara Presiden Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) José Ramos dan Eurico Guterres yang diadakan di Kupang, Indonesia, disepakati untuk melanjutkan proses rekonsiliasi antara masyarakat Timor yang terpecah belah akibat referendum tahun 1999, dengan tujuan untuk membangun kembali hubungan yang sudah lama terputus, dan membuka jalan bagi masa depan yang damai dan sejahtera bagi semua pihak yang terlibat.
Eurico Guterres mengatakan pertemuan tersebut merupakan langkah signifikan dalam proses perdamaian pasca-konflik yang terjadi setelah penentuan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1999.
Referendum tersebut menimbulkan perpecahan yang mendalam di antara masyarakat Timor, baik yang memilih untuk bergabung dengan Indonesia, maupun yang mendukung kemerdekaan Timor Leste.
“Sebagai hasil pertemuan saya dengan Presiden RDTL di Kupang, Indonesia, kami sepakat untuk merekonsiliasi masyarakat Timor yang terpecah sejak rekonsiliasi tahun 1999 demi masa depan yang damai dan sejahtera.”
“Kehadiran Presiden RDTL di Kupang Indonesia dan kesediaan meluangkan waktu untuk bertemu dengan kami, inilah sikap seorang negarawan dan menyampaikan banyak hal positif tentang pentingnya rekonsiliasi antara warga Timor di Indonesia dan di Timur. Timor.” kata Eurico kepada G-NEWS.
Salah satu tantangan terbesar dalam proses rekonsiliasi adalah keberanian untuk memutuskan hubungan dengan masa lalu yang penuh dengan trauma dan ketidakadilan. Banyak individu dan kelompok yang terlibat dalam konflik merasa sulit untuk melepaskan perasaan dendam dan ketidakpercayaan yang terbentuk selama bertahun-tahun.
Namun, seperti yang dicontohkan dalam proses rekonsiliasi di berbagai negara lain, seperti Afrika Selatan pasca-apartheid, melepaskan diri dari belenggu masa lalu adalah langkah pertama yang esensial untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Menurut beberapa ahli dalam kajian perdamaian dan konflik, rekonsiliasi bukan hanya soal memperbaiki hubungan antar individu, tetapi juga mengenai membangun kepercayaan antar lembaga dan negara. Sebuah negara yang tidak mampu menyelesaikan luka-luka sosial dan politiknya akan terus dihantui oleh konflik yang bisa meletus kembali kapan saja.
Oleh karena itu, Presiden mengingatkan pentingnya keberanian kolektif untuk mengakui kesalahan sejarah, mendekati kebenaran dengan jujur, dan memberi ruang bagi proses penyembuhan sosial.
Mencari Kebenaran dan Keadilan
Mencari kebenaran dalam konteks rekonsiliasi tidak hanya sebatas pada pemulihan fakta-fakta sejarah yang hilang atau disembunyikan. Hal ini juga mencakup pencarian keadilan bagi mereka yang telah menjadi korban ketidakadilan, baik itu korban kekerasan, penindasan politik, atau pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa keadilan, proses rekonsiliasi akan kehilangan makna dan tidak akan memberikan dampak yang signifikan dalam jangka panjang.
Pencarian kebenaran dalam rekonsiliasi sering kali disertai dengan perdebatan tentang apakah negara harus mengupayakan mekanisme pengadilan atau menggunakan pendekatan alternatif seperti komisi kebenaran. Di banyak negara yang telah melalui proses serupa, pilihan ini sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan praktis dan politik—apakah masyarakat siap untuk menghadapi kenyataan pahit dari masa lalu mereka, atau apakah lebih baik untuk mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak.
Terkait dengan pentingnya pencarian kebenaran, Arlindo Sequeira, seorang pelajar dari Universitas Timor Lorosa’e (UNTL), di Dili, Jumat (29/11/2024), menyatakan bahwa, “Mencari kebenaran dalam proses rekonsiliasi sangat penting, tetapi kita juga harus melakukannya dengan hati yang terbuka. Pengungkapan kebenaran harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan penuh kasih, agar tidak memperburuk luka lama, namun benar-benar dapat membuka jalan untuk penyembuhan yang hakiki.”
Membangun Persahabatan di Antara Semua Orang
Namun, di luar pencarian kebenaran dan keadilan, proses rekonsiliasi juga harus melibatkan usaha untuk membina persahabatan di antara seluruh elemen masyarakat. Hal ini berarti bahwa rekonsiliasi bukan sekadar proses hukum atau politik, tetapi juga melibatkan dimensi sosial dan budaya yang lebih dalam. Proses ini menuntut perubahan dalam pola pikir dan sikap masyarakat, dari sikap saling curiga dan permusuhan menjadi sikap saling menghormati dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Martinho Bano, seorang warga dari Oecusse-Ambeno, menyampaikan pentingnya membangun hubungan yang baik antara semua kelompok, dengan mengatakan, “Rekonsiliasi tidak hanya tentang menyelesaikan konflik masa lalu, tetapi juga tentang membangun persahabatan di antara semua orang, tanpa membedakan siapa pun. Jika kita tidak bisa saling percaya dan menghargai, perdamaian yang kita cita-citakan tidak akan pernah tercapai.”
Rekonsiliasi yang sukses, menurut banyak pakar, harus mengutamakan penguatan solidaritas sosial. Ini dapat dicapai melalui pendidikan, dialog antar kelompok, dan kebijakan inklusif yang memberi kesempatan yang sama bagi semua pihak, tanpa memandang latar belakang etnis, agama, atau ideologi politik. Dalam konteks Indonesia, di mana keragaman adalah salah satu ciri utama masyarakat, membina persahabatan antar kelompok menjadi salah satu aspek terpenting dari proses rekonsiliasi yang lebih luas.
Kebijakan rekonsiliasi yang diusung oleh Presiden Republik dan Perdana Menteri harus mencerminkan prinsip-prinsip keadilan dan norma-norma kewajiban konstitusional yang tertuang dalam Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste (K-RDTL).
Pasal 160 K-RDTL mendefinisikan bahwa kejahatan yang dilakukan sejak tahun 1974 sampai dengan tanggal 31 Desember 1999 dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida, atau kejahatan perang; mengatur proses pidana di pengadilan nasional dan internasional. Artinya kejahatan yang dilakukan pada periode tahun 1999 dalam rangka jajak pendapat atau referendum akan diutamakan dalam proses persidangan sampai ada amandemen UUD.
Berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan Judicial System Monitoring Program (JSMP), pada 27 November 2024, Presiden Republik mempunyai peran paling besar dalam membela negara. “JSMP berpendapat bahwa ketentuan Pasal 160 K-RDTL merupakan perintah dan amanat konstitusi yang mengikat seluruh entitas negara dan harus dihormati, termasuk Presiden Republik. Bahkan Presiden Republik mempunyai peran paling besar di negara ini untuk membela dan menuntut agar seluruh entitas mematuhi prinsip-prinsip yang tertuang dalam K-RDTL”.
Eurico Guterres (EG) adalah pelaku utama dan penentu berbagai pelanggaran, kekejaman dan pembantaian di Timor-Leste sebelum, selama dan setelah referendum tahun 1999. Oleh karena itu, unit kejahatan berat PBB menuduh EG sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. termasuk pembunuhan, penganiayaan dan tindakan kejam tidak manusiawi lainnya.
“Sampai saat ini, Eurico Guterres akan dianggap dituduh melakukan tindakan kekejaman dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama dan setelah referendum di Timor-Leste pada tahun 1999 dan sampai saat ini statusnya sebagai terdakwa belum dicabut oleh karena itu, Kantor Jaksa Agung Republik mempunyai peran penting untuk menjamin dan mempertahankan legalitas menurut hukum”, kata Casimiro dos Santos, Direktur Eksekutif Interim JSMP, dikutip dalam siaran persnya.
Meski Eurico Guterres diadili di Pengadilan Adhoc Jakarta, namun persidangan tersebut mendapat kecaman keras dari berbagai pihak saat itu, karena persidangan tersebut ditengarai tidak memenuhi standar peradilan yang adil menurut hukum internasional dan persidangan itu sendiri sebagai upaya dan upaya untuk mengalihkan tuntutan akan adanya pengadilan internasional. (Profesor David Cohen 2003), seorang ahli terkenal di bidang hak asasi manusia, hukum internasional dan keadilan transisi, melontarkan kritik keras terhadap persidangan kasus Eurico Guterres, dan ia menyatakan bahwa persidangan tersebut sengaja dirancang untuk gagal.
“Walaupun kita sadar bahwa kita mempunyai kesulitan dan tantangan yang besar dalam mengadili para pelaku utama dan pelaku intelektual, namun negara harus menghormati para korban dan penyintas dengan bertindak melalui kebijakan yang bermartabat dan menghormati mereka, sehingga tidak merugikan rasa keadilan mereka”, Casimiro dos Santos menegaskan lebih lanjut.
Kebijakan yang digagas Presiden Republik dan Perdana Menteri dengan mengajak EG dan kelompoknya terlibat dalam berbagai kejahatan di masa lalu tidak hanya melampaui batas Konstitusi, namun juga menghina dan menyinggung para korban dan penyintas yang menderita dan mengalami tragedi dan kelam di masa lalu. masa lalu. Rekonsiliasi tidak bisa hanya mewakili sudut pandang para pemimpin yang berkuasa, namun harus datang dari para korban yang selamat dan rakyat ke rakyat.
Rekonsiliasi harus menjadi agenda nasional atau agenda seluruh negara, sehingga inisiatif tersebut harus melalui mekanisme tersendiri dengan melibatkan seluruh entitas dan badan yang berdaulat, khususnya Parlemen Nasional sebagai wakil rakyat harus membahas dan menyetujui atau meratifikasi. sebelum Presiden Republik dan Perdana Menteri mempromosikan kebijakan tersebut.
“Ketika proses tersebut ditangani secara transparan dan inklusif, hal ini memungkinkan keterwakilan suara para korban dalam proses-proses tersebut. Oleh karena itu, inisiatif rekonsiliasi tidak dapat menciptakan kesan inisiatif pribadi atau khusus dari kepemimpinan kedua pihak yang kini berkuasa”, Direktur Eksekutif JSMP menjelaskan secara rinci.
Urusan kenegaraan harus diselesaikan sesuai dengan aturan protokoler dan kekhidmatan kenegaraan, untuk memastikan bahwa prosesnya dilakukan secara tertib dan dalam lingkup kewajiban Konstitusi.
Tantangan dan Harapan
Meskipun proses rekonsiliasi Timor Leste sudah diakui secara internasional, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Tidak hanya terkait dengan keberanian politik untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi juga dengan masalah sosial dan ekonomi yang masih membayangi banyak daerah di Timor Leste. Pemerintah dan masyarakat harus terus bekerja keras untuk memastikan bahwa rekonsiliasi tidak hanya terjadi di tingkat elit politik, tetapi juga di tingkat akar rumput.
Dengan mempercepat proses rekonsiliasi, Timor Leste memiliki kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih damai dan harmonis. Namun, untuk mencapai tujuan ini, diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh pihak, baik pemerintah, masyarakat sipil, maupun sektor swasta, untuk terus memajukan agenda rekonsiliasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Editor Teks: Amito Qonusere Araújo