G-NEWS (PORTUGAL/CERPEN) — Aku lahir pada tahun 1985, di sebuah dusun kecil bernama Maucola, bagian dari Desa Beco, Kecamatan Suai Kota, Kabupaten Covalima, saat wilayah ini masih menjadi bagian dari NKRI. Dahulu, Maucola dikenal sebagai kawasan transmigrasi, tempat di mana saudara-saudara dari Bali dan Jawa datang dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Mereka tiba tanpa memahami sepatah kata pun dalam bahasa Tetun, namun seiring waktu, anak-anak mereka mulai fasih berbicara dalam bahasa kami. Di sekolah, kami bermain dan belajar bersama, tanpa pernah mengenal perbedaan, menciptakan persahabatan yang hangat dan tulus.
Maucola kala itu adalah sebidang tanah yang penuh berkah. Hamparan sawahnya menghijau seluas mata memandang, dikelola oleh petani-petani gigih yang bekerja tanpa lelah. Setiap sore, burung-burung beterbangan melintasi langit yang merona jingga, seolah berpamitan pada hari. Para petani pulang dengan cangkul di bahu, lelah namun tersenyum, puas akan jerih payah mereka di ladang yang memberi kehidupan.
Saat musim panen tiba, padi menguning, jagung merunduk karena beratnya, dan kacang-kacangan tumbuh subur menghiasi pematang. Kami, anak-anak dusun, berlarian di antara petak-petak sawah, menjaga padi dari serbuan burung pipit yang lapar. Ada kebersamaan yang meresap, di mana setiap orang bahu-membahu merawat tanah dengan cinta. Jagung dan kacang yang tumbuh di bumi Maucola adalah saksi keajaiban alam yang tak terhingga.
Namun, suatu ketika, bencana datang menghampiri. Bendungan yang dibangun untuk mengairi sawah kami runtuh. Irigasi yang menembusi sawah-sawah tak lagi diairi. Sawah-sawah yang dulu penuh kehidupan, kini kering tanpa kehidupan. Tanah yang dulunya subur berubah kering, terpanggang panas mentari yang begitu menyengat. Sawah-sawah mengering, dan irigasi yang pernah menghidupi kami kini tinggal kenangan.
Setelah kemerdekaan Timor Leste tiba pada tahun 1999, saudara-saudari petani dari Bali dan Jawa harus kembali ke tanah asal mereka.
Ada kesedihan yang menggantung di udara, namun hidup terus berjalan. Maucola yang dulu hijau dan subur kini berubah, digantikan oleh tanaman umbi-umbian yang keras menahan kekeringan. Bendungan belum juga diperbaiki, dan sawah yang pernah menjadi nadi desa kini tinggal bayangan masa lalu.
Namun, semangat para petani Maucola tak pernah padam.
Setiap panen, meski tak seberlimpah dahulu, tetap dirayakan dengan penuh sukacita. Kebahagiaan mereka bukanlah sesuatu yang mudah dipadamkan, karena mereka percaya bahwa alam—meskipun sering kali kejam—selalu memberi bagi mereka yang merawatnya dengan ketulusan.
Maka ingatlah, rawatlah alam seperti kita merawat diri sendiri, sebab dari sanalah hidup kita berasal.
Jika kita lalai menjaga, yang hilang bukan sekadar tanaman—melainkan masa depan kita sendiri.
(Cerpen: Amo Ameu TL)