Air mata di malam sunyi

Editor: Amito Qonusere Araújo

banner 120x600
108 Views

G—NEWS (REDAKSI) — Di sebuah desa kecil, tinggal seorang anak laki-laki bernama Raka. Usianya baru tujuh tahun, tetapi hidupnya sudah jauh dari kata biasa. Sejak kedua orang tuanya pergi bekerja ke kota besar, Raka tinggal sendirian di rumah kecil milik mereka yang terletak di ujung desa. Setiap pagi, ia terbangun dengan suara ayam berkokok, namun tidak ada yang membangunkannya untuk sarapan atau menemani saat dia berangkat sekolah. Semua yang ada hanya dirinya sendiri.

Pagi itu, seperti biasa, Raka bangun lebih awal. Ia menyiapkan makanannya sendiri, sekadar roti dengan susu, sebelum berangkat ke sekolah yang tak jauh dari rumah. Sambil berjalan, ia melihat teman-temannya yang ditemani oleh orang tua mereka. Beberapa anak kecil berlari sambil menggenggam tangan ibu mereka, sementara yang lainnya tertawa riang bersama ayah mereka. Raka hanya bisa menatap mereka dengan tatapan kosong.

banner 325x300

Ketika bel sekolah berbunyi, ia memasuki kelas. Namun, hatinya terasa berat. Di sekolah, ia tidak banyak bicara. Raka lebih suka menyendiri, menulis di buku tulisnya, atau menggambar gambar rumah besar dengan keluarga lengkap—gambar yang selalu ia impikan, tetapi tak pernah ia miliki.

Hari demi hari berlalu, dan kehidupan Raka menjadi semakin sepi. Malam-malam di rumah terasa panjang dan sunyi. Ia harus memasak sendiri, merapikan rumah, dan menjaga dirinya sendiri. Setiap malam sebelum tidur, ia sering menatap langit, mencari bintang, berharap orang tuanya akan kembali.

Namun, pada suatu malam yang gelap, tangisan Raka pecah. Di luar, hujan turun deras, seakan alam ikut merasakan kesedihannya. Ia duduk di sudut kamar, memeluk lututnya, dan merasakan kekosongan yang begitu dalam. “Kenapa aku harus sendiri?” pikirnya. “Kenapa tak ada yang menemani aku di sini?”

Air mata mengalir tanpa bisa ia bendung. Rasa kesepian itu seperti gelombang besar yang menenggelamkannya. Raka ingin ada pelukan hangat, ada suara lembut yang menghiburnya. Namun, yang ada hanya desau angin dan suara hujan yang tak bisa menyembuhkan luka hatinya.

Di tengah tangisan itu, ia teringat sesuatu. Di meja samping tempat tidurnya, ada sebuah foto tua. Itu adalah foto dirinya bersama orang tuanya. Meski wajah mereka tampak jauh, senyum mereka mengingatkan Raka bahwa meskipun jauh, orang tuanya masih mencintainya. Mereka bekerja keras demi masa depan Raka, demi memberinya kehidupan yang lebih baik. Meskipun mereka tak bisa selalu ada, mereka selalu merindukannya, begitu pula Raka.

Dengan perlahan, tangisnya mulai mereda. Ia tahu, meskipun hidupnya keras, ia tidak sendirian. Ada cinta yang mengalir meski terhalang jarak. Raka berjanji pada dirinya sendiri, ia akan terus berusaha, berjuang agar suatu hari nanti bisa bersama orang tuanya lagi.

Ketika mata Raka mulai terpejam, suara hujan masih terdengar, tetapi malam itu, ia merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia akan terus berjalan—untuk dirinya, untuk orang tuanya, dan untuk mimpi-mimpi yang ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.

relavante