Bayangan karma: sebuah kisah yang menguji Keberanian

Redaksi G-NEWS | Editor: Amito Qonusere Araújo

G-NEWS: Ibu dikritik masyarakat atas keputusannya dalam membesarkan anak
G-NEWS: Ibu dikritik masyarakat atas keputusannya dalam membesarkan anak
banner 120x600
62 Views

G—NEWS (CERPEN) — Dalam setiap perjalanan hidup, terdapat keputusan-keputusan yang membentuk siapa kita. Keputusan-keputusan tersebut, entah baik atau buruk, akhirnya mengarah pada konsekuensi yang akan diterima. Konsep karma, yang berasal dari ajaran agama-agama timur, memandang bahwa setiap perbuatan akan berbuah akibat yang setimpal.

Namun, dalam realitas kehidupan, adakalanya karma datang dalam bentuk yang tak terduga, bahkan dalam cara yang mengguncang dan merubah segalanya. Inilah kisah seorang ibu yang kejam, yang harus menghadapi akibat dari tindakan-tindakannya.

banner 325x300

Nina, seorang ibu yang terlahir dalam kondisi yang serba kekurangan, hidup dengan keyakinan bahwa hanya dengan kekuasaan dan kontrol dia bisa mempertahankan eksistensinya di dunia. Ia menganggap bahwa anak-anaknya adalah alat untuk mencapai tujuannya, sebuah pandangan yang akhirnya membuatnya dikenal sebagai sosok yang kejam.

Dalam setiap tindakan, Nina mengedepankan rasa takut—takut akan kehilangan, takut akan ketidakpastian, dan lebih lagi, takut akan ketidakberdayaan. Keputusannya untuk mendidik dengan tangan besi, tanpa rasa kasih sayang, menciptakan luka yang mendalam pada anak-anaknya.

Kata-kata tajam, pukulan fisik, dan tekanan psikologis adalah bagian dari kehidupan mereka yang terabaikan. Bagi Nina, tindakan-tindakan ini adalah cara untuk menguatkan anak-anaknya, meski ia tidak pernah menyadari bahwa ia justru tengah mematahkan semangat mereka.

Dalam teori filsafat moral, kita sering mendengar pandangan dari Immanuel Kant mengenai imperatif kategoris: tindakan yang kita lakukan harus bisa menjadi prinsip umum yang bisa diterima oleh semua orang.

Apa yang dilakukan Nina, jika diukur dengan kacamata ini, sangat bertentangan dengan prinsip moralitas universal. Ia menggunakan anak-anaknya sebagai alat untuk mencapai tujuannya tanpa mempertimbangkan hak asasi mereka sebagai individu yang memiliki martabat.

Di sisi lain, konsep karma dalam filsafat timur—terutama dalam ajaran Hindu dan Buddha—menegaskan bahwa perbuatan buruk akan membawa akibat buruk. Setiap tindakan, sekecil apapun, meninggalkan jejak yang akhirnya akan kembali kepada pelakunya.

Hal ini sejalan dengan prinsip teologis dalam banyak agama yang mengajarkan bahwa Tuhan atau kekuatan alam semesta akan menegakkan keadilan melalui mekanisme yang terkadang tidak tampak secara langsung.

Bagi Nina, karma ini adalah pelajaran yang harus ia pelajari dengan cara yang pahit. Semakin besar kontrol yang ia terapkan, semakin ia merasa dirinya terjebak dalam lingkaran kebencian yang ia ciptakan sendiri.

Suatu hari, anak-anak Nina, yang telah tumbuh dewasa, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka. Keputusan itu datang setelah bertahun-tahun mengalami kekerasan fisik dan emosional. Mereka membawa luka yang tak terlihat oleh dunia luar, namun sangat nyata bagi mereka.

Namun, keputusan ini bukanlah sebuah pelarian. Ini adalah titik balik bagi Nina, saat ia harus menghadapi konsekuensi dari perilaku yang selama ini ia anggap wajar.

Dengan anak-anaknya pergi, Nina merasakan kesepian yang begitu mencekam. Seiring berjalannya waktu, kesehatan Nina mulai menurun. Penyakit yang ia abaikan bertahun-tahun kini menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.

Ia yang dulu penuh dengan kekuasaan, kini harus menghadapi ketidakberdayaan dalam tubuhnya yang semakin lemah. Dalam kesendiriannya, Nina mulai merasakan apa yang dulu ia lakukan pada anak-anaknya—perasaan ditinggalkan, dihukum tanpa belas kasihan.

Di akhir hayatnya, Nina hanya memiliki satu kenangan yang tersisa—konsekuensi dari tindakannya yang kejam terhadap anak-anaknya. Karma, sebagaimana dalam ajaran teologis dan filsafat, bukanlah sebuah hukuman yang dijatuhkan oleh kekuatan luar. Ia adalah hukum alam yang berlaku adil, yang memberikan pelajaran melalui pengalaman hidup.

Dari perspektif teologis, ajaran mengenai kasih dan pengampunan menjadi relevan di sini. Di banyak agama, pengampunan adalah inti dari kebebasan spiritual. Namun, dalam kasus Nina, karma yang datang lebih berupa pelajaran tentang bagaimana manusia terhubung satu sama lain.

Mengabaikan nilai kasih sayang, menghancurkan hati orang lain demi kepentingan diri sendiri, hanya akan mengarah pada penderitaan, baik bagi yang disakiti maupun bagi pelaku itu sendiri.

Pengampunan mungkin menjadi jalan keluar bagi mereka yang terluka, namun Nina tidak pernah diberi kesempatan untuk menebus kesalahannya. Karma dalam bentuk ini datang bukan sebagai suatu hukuman dari kekuatan Tuhan, melainkan sebagai akibat alami dari pilihan-pilihan hidup yang ia buat.

Kisah Nina mengajarkan kita bahwa karma bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan proses yang panjang dan kompleks. Tindak kejam yang dilakukan terhadap orang lain, meski pada awalnya tampak tanpa akibat, akan kembali ke pelaku dalam bentuk yang tak terduga.

Baik itu melalui kesepian, penderitaan fisik, atau kehilangan yang dalam, karma tetap mengingatkan kita bahwa setiap perbuatan membawa dampak.

Dalam narasi filsafat dan teologi, kita belajar bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab moral terhadap sesama, dan bahwa kasih sayang serta pengampunan adalah kunci untuk membebaskan diri dari lingkaran karma yang tak berujung.

relavante