G-NEWS (CERPEN) — Senja di Palangka Raya menebarkan pesona jingga, mengiringi pesawat yang kutumpangi dari Surabaya menuju Bandara Cilik Riwut. Ini adalah perjumpaan pertamaku dengan tanah Kalimantan, pada 10 Desember 2012.
Setibanya di sana, senyum ramah menyambutku—kenalan keluarga dari suster orang Dayak yang kukenal saat praktek di Manggarai, kala itu.
Kehangatan mereka menyisihkan kecemasan yang sempat membelenggu hatiku. Kami menuju ke rumah, di sana disajikan menu makan, yang luar biasa.
Karena asyik bercerita, hampir lupa, kalau aku harus pergi ke rumah komunitas SVD. Akhirnya aku diantar ke rumah SVD.
…….
Dua hari pertama, aku habiskan di komunitas SVD di jantung kota Palangka Raya, bersama Bruder Lukas (almarhum-rektor) dan Bruder Tukan.
Episode 1 — Pencarian kakak yang hilang di pedalaman Kalimantan
Sambutan hangat mereka membawa kedamaian, memberikan kesempatan bagiku untuk mengenali kota Palangka Raya dengan keindahan alam, budaya dan datarannnya.
Di pagi hari kedua, kuhubungi travel untuk perjalanan menuju rumah kakakku di Desa Tumbang Poso, Kabupaten Kurun. Cuaca berkabut dan gerimis menambah aura misteri dalam perjalanan itu. Di dalam trevel hanya aku dan seorang supir (bapak muda yang ramah). Percakapan kami sepanjang jalan membuka jalinan takdir—ternyata ia adalah keponakan dari istri kakakku, Plácido.
Takdir Tuhan memang penuh kejutan, menghangatkan perjalanan sejauh 450 kilometer tersebut.
Kami tiba di Kecamatan Tewah, tempat tinggal orang tua kakak iparku.
Sambutan suka cita mereka begitu hangat, membuat hati ini semakin mantap.
Bersama mereka, kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di tepi pelabuhan Sungai Kahayan. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan perahu motor, yang membawa kami menyusuri sungai luas itu. Dalam hati, aku berdoa, dan sebelum kaki melangkah memasuki perahu, aku menyentuh air sungai sambil membuat tanda salib (doa singkat kebanggaan imanku), dan memohon perlindungan Tuhan di perairan yang asing ini.
Perjalanan di atas sungai itu adalah pengalaman magis, ditemani keheningan dan keagungan pohon-pohon besar di hutan Kalimantan. Meski perahu sempat macet, doa dan harapanku untuk segera tiba di rumah, membuat perahu kembali melaju, membawa kami semakin dekat ke tujuan.
Rumah-rumah penduduk mulai tampak, pertanda kami hampir tiba.
Di pelabuhan kecil, dua anak laki-laki sedang mandi.
Orang tua kakak ipar mengenali mereka sebagai anak-anak kakakku. Hati ini bergetar, menyadari ikatan darah yang hadir di hadapanku. Kami berjalan menuju rumah panggung milik kakak, disambut dengan sapaan hangat “Mamang,” oleh dua anak kakak tersebut, yang artinya paman dalam bahasa Dayak. Kakak bersama istrinya, tidak sedang berada di rumah, mereka menunggu kedatangan aku di tempat lain.
Penduduk desa berdatangan, menyambut kedatanganku dengan antusias.
Ketika aku menceritakan maksud kedatanganku, semua mereka isak terharu.
Sekitar 30 menit kemudian, kakak dan istrinya bersama anaknya, Charles, muncul di kejauhan.
Ketika langkah mereka mendekat, teriakan histeris haru, meledak dari kakak.
Semua terpana, menyaksikan pertemuan itu. Kami berangkulan, air mata berlinang tanpa kata, hanya rasa syukur dalam sanubari yang mengatakan bahwa kakak Plácido masih hidup.
……
Setelah ketenangan sedikit kembali, aku membuka tas, memberikan oleh-oleh dan menunjukkan album foto keluarga, mengabarkan keadaan di kampung yang baik-baik saja, meski harus melewati masa sulit perang saudara di Timor Leste tahun 1999, pasca referendum.
Empat hari penuh kenangan berlalu, sebelum kami menuju tempat mencari jaringan atai signal telepon untuk menghubungi orang tua dan keluarga di Timor Leste.
…..
Kisah ini masih berlanjut, seperti kehidupan yang terus berputar, menganyam benang-benang baru dalam cerita keluarga kami yang penuh liku.
Di bawah langit Kalimantan yang luas, kami memulai kembali, menghidupkan kembali harapan dan kasih yang sempat terputus.
👉Bersambung….->Ditunggu episode selanjutnya, saat pertama kali menghubungi keluarga di Timor Leste, setelah 4 hari tanpa sinyal di pedalaman)
Ditunggu episode selanjutnya)