G-NEWS (CERPEN) — Senja tahun 1995 menyisakan semburat jingga di langit saat Plácido, kakakku, memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas di STM Dili, ia bercita-cita menjadi polisi. Namun, takdir menggagalkan impiannya karena kondisi kesehatan dan ekonomi.
Beberapa bulan kemudian, program pemerintah membuka kesempatan bagi tenaga kerja di Kalimantan. Tanpa ragu, kakak Plácido mendaftarkan diri dan lulus seleksi. Bersama beberapa teman, ia meninggalkan kampung halaman menuju Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Waktu bergulir seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Tahun 1998 (kala itu aku masih duduk di banku SD, kelas 6), kakak Plácido mengirimkan surat. Dalam suratnya terselip foto pernikahannya dengan seorang putri Dayak. Di surat itu, ia juga mengabarkan rencananya untuk berlibur ke kampung pada tahun 1999. Namun, rencana itu musnah ketika Timor Timur dilanda kekacauan referendum. Kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke Betun, Malaka, Indonesia, berlindung di kamp pengungsian yang beratapkan terpal dan berlantaikan tanah.
Sejak saat itu, kabar tentang kakak Plácido kian samar. Dalam keterasingan dan ketidakpastian, seorang rekan kerja kakak Plácido mengabarkan bahwa kakakku telah meninggal dunia akibat jatuh dari ketinggian. Kabar duka itu mengguncang hati keluarga, namun kami berusaha mengikhlaskannya. Sejak saat itu, dalam perayaan hari arwah sedunia pada tanggal 2 November, keluarga selalu menyelipkan satu intensi misa untuk keselamatannya.
Waktu berlalu, tahun 2001 saya memutuskan masuk seminari Lalian, Atambua, menempuh pendidikan untuk menjadi imam Katolik. Pendidikan saya berjalan baik hingga suatu hari di tahun 2012, ketika saya melakukan praktek pastoral di Manggarai Barat, Flores (setelah menyelesaikan sarjana filsafat di STFK Ledalero), muncul perasaan kuat untuk mencari keberadaan kakak Plácido. Saya menceritakan hal ini kepada Pastor paroki, dan kami memutuskan untuk membuat intensi khusus dalam misa di komunitas.
Seminggu kemudian, saya berkomunikasi dengan para pastor di Kalimantan, menceritakan situasi kakak saya. Mereka meminta alamat terakhir yang pernah diberikan kakak Plácido. Beruntung, saya masih menyimpan alamat tersebut.
Pencarian pun dimulai.
Seminggu kemudian, seorang pastor menghubungi saya, mengatakan bahwa nama kakak Plácido tercatat di salah satu paroki, pernah menikah di gereja tersebut, namun sejak tahun 1999 tak ada kabar lagi. Bapa saksi nikahnya, yang adalah seorang yang aktif di gereja, menjadi titik terang pencarian kami.
Melalui bapa saksi, kami membangun komunikasi. Ia mengabarkan bahwa kakak Plácido masih hidup, kini berdomisili di pedalaman kabupaten Kurun, tepatnya di Desa Tumbang Poso. Beberapa waktu kemudian, bapa saksi menulis surat dengan menyertakan nomor telepon saya.
Bagi Tuhan, tiada yang mustahil. Seminggu kemudian, saya menerima pesan singkat, kurang lebih seperti ini pesannya: “Ini dengan kakak Plácido, saya mau ngomong.”
Hati saya bergetar, haru, kaget, dan sedikit shock. Ternyata, jika pesan ini benar, kakak Plácido masih ada, ia masih hidup. Tanpa menunda, saya menelepon dan menghubungkan dengan kakak perempuan kami, Efigenia yang ada di Betun.
Ketika telepon diangkat, suara kakak Plácido yang penuh kerinduan terdengar. Kami bertiga berbicara dengan perasaan haru yang campur aduk. Kakak Plácido ternyata masih hidup. Maka, saya memutuskan untuk berangkat ke Kalimantan menemuinya.
Perjalanan panjang membawa saya ke sebuah desa terpencil di pedalaman Kalimantan, Tumbang Poso namanya, tepat di tanggal 12 bulan 12 tahun 2012 (Data yang sangat bersejarah). Di sana, saya disambut oleh kakak bersama keluarga serta masyarakat yang ramah. Dan di tengah mereka, berdiri kakak Plácido. Wajahnya tampak lebih tua, namun sorot matanya memancarkan kebahagiaan. Kami berpelukan layaknya saudara yang hilang dan ditemukan lagi, tak kuasa menahan air mata yang mengalir deras, hingga memancing semua yang hadir menyaksikan pertemuan kami pun turut meneteskan air mata haru (maklum 17 tahun kehilangan kabar, bahkan dikabarkan telah tiada, kini bertemu kembali).
Kakak Plácido menceritakan bahwa banyak kisah tragis yang hampir merenggut nyawanya, ia diselamatkan oleh penduduk setempat dan memutuskan untuk tinggal di sana. Ia menjadi bagian dari masyarakat di sana, membangun kehidupan baru bersama istri dan anak-anaknya.
Pertemuan ini mengobati kerinduan yang terpendam selama bertahun-tahun, membawa harapan dan kebahagiaan baru bagi keluarga kami.
Kisah kami membuktikan bahwa harapan dan iman dapat membangkitkan kembali yang hilang dan membawa kehidupan dari kematian yang diyakini.
Di sana, saya merayakan Natal bersama mereka. Pesta Natal, mengenang peristiwa kelahiran Yesus, membawa kelahiran baru bagi kakak Plácido.
Anak yang mati, dilahirkan lagi dalam suasana Natal.
Kisah kami belum selesai. Ini adalah awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kami, di mana, kasih dan kebersamaan selalu menemukan jalan untuk kembali, meskipun harus menempuh perjalanan yang panjang dan penuh liku.
Di bawah langit Kalimantan yang luas, kami memulai kembali, menyulam jalinan keluarga yang sempat tercerai. KK Plácido, yang hilang, kini kembali. Dan dari kematian yang diyakini, ia bangkit lagi, membawa harapan baru bagi kami semua.
(Bersambung…..->Ditunggu episode selanjutnya)