Jejak yang terpisah waktu, bertaut kembali di tanah Ribeira de Pena, Portugal

banner 120x600
119 Views

G-NEWS (PORTUGAL/CERPEN) — Di bawah langit Portugal yang berwarna lembayung, perbukitan Ribeira de Pena terselimuti keheningan pagi. Jalan-jalan berliku menuju desa kecil itu mengingatkan Paulina akan perjalanannya, baik yang diukur oleh jarak maupun waktu.

Setiap langkah yang diambil, setiap detik yang berlalu, terasa bagai helaian masa yang dipintal oleh takdir, membawa kisah hidupnya ke titik ini.

banner 325x300

Sesuatu yang dahulu hanya ada dalam mimpi dan doa, kini menjelma jadi nyata: sebuah pertemuan yang selama ini hanya ia bayangkan dalam benak.

Hampir lebih dari lima puluh tahun silam, di sebuah sudut kecil Lospalos, Timor Leste, seorang perwira muda Portugal, Senhor Teixeira, bertugas sebagai bagian dari wajib militer.

Kehidupan militernya diwarnai oleh pertemuan dengan seorang gadis Timor yang sederhana. Mereka hidup bersama alias menikah secara siri, jauh dari catatan resmi negara. Namun, pada tahun 1974, ketika rezim Salazar runtuh, semua warga Portugal dipanggil kembali ke tanah air. Saat itulah Senhor Teixeira harus meninggalkan Lospalos, meninggalkan istri yang tengah mengandung lima bulan.

Di Portugal, Senhor Teixeira melanjutkan hidupnya. Ia menikah lagi dan memiliki dua anak laki-laki, seolah kisahnya di Timor Leste hanya sekelebat ingatan. Namun, di seberang lautan, seorang anak perempuan terlahir dari rahim istri Timor Lestenya. Anak itu adalah Paulina, seorang gadis yang tumbuh tanpa mengenal sosok ayahnya, hanya hidup dengan kisah-kisah masa lalu yang samar-samar.

Paulina dewasa dalam kebersamaan dengan ibunya, kemudian menikah dengan seorang pria dari Ende, Flores.

Kehidupan rumah tangganya di Kupang bahagia, dengan empat anak yang menyemarakkan hari-harinya. Namun, ada rindu yang tak pernah pudar, rindu yang diam-diam mengakar di dalam hatinya. Setiap malam, Paulina berdoa dalam kesunyian, memohon agar suatu hari dapat bertemu ayah kandungnya yang jauh di Portugal.

Tuhan mendengar doanya. Melalui bantuan orang-orang baik di Portugal, serta teman-teman lama Senhor Teixeira yang dulu pernah bertugas di Timor Leste, jalan bagi Paulina mulai terbuka. Meskipun jarak ribuan kilometer membentang, tekadnya bulat.

Paulina memutuskan untuk pergi. Sebelum menuju kampung halaman ayahnya, ia menyempatkan diri mengunjungi Fatima, tempat suci di mana ia berharap doanya lebih mudah dikabulkan.

Di depan patung Bunda Maria, Paulina menumpahkan seluruh isi hatinya.

Hari yang dinantikan pun tiba. Di sebuah restoran di Ribeira de Pena, rencana pertemuan diatur dengan cermat. Teman-teman Senhor Teixeira terlebih dahulu masuk dan berbincang tentang masa-masa mereka di Timor Leste. Sr. Teixeira belum mengetahui bahwa ini adalah bagian dari kejutan besar yang telah disusun oleh mereka.

Di sela-sela obrolan, tiba-tiba Teixeira menyebut bahwa ia memiliki seorang anak perempuan di Timor, anak yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dalam mimpinya.

“Aku rindu untuk menemuinya suatu hari nanti,” ucapnya perlahan.

Salah seorang temannya menatapnya dan bertanya, “Apakah kau tidak takut ke Timor?”

Teixeira menggeleng sambil tersenyum, “Kenapa takut? Jika Tuhan mengizinkan, aku akan ke sana.”

Saat itu, pintu restoran terbuka. Paulina memasuki ruangan bersama rombongan lainnya. Mereka duduk di meja yang tak jauh dari Teixeira dan teman-temannya. Salah satu temannya lalu menoleh kepada Teixeira dan berkata, “Kau tidak perlu pergi ke Timor untuk menemuinya. Dialah yang datang menemuimu, dan sekarang anakmu ada di sini, di sampingmu.”

Teixeira terdiam. Perlahan, ia mengangkat pandangannya. Di sana, di hadapannya, duduklah seorang wanita yang menyerupai potongan masa lalunya. Paulina membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah foto tua, yang tersimpan di handphonenya—gambar ibunya yang muda bersama seorang pria militer yang tak lain adalah Senhor Teixeira.

Saat foto itu diperlihatkan, air mata Teixeira jatuh tanpa diminta. Ia terhenyak, memandang Paulina seolah melihat cermin dari masa-masa yang pernah hilang.

Tanpa sepatah kata pun, Teixeira berdiri dan mendekati Paulina. Seluruh ruangan terasa beku, sunyi, seolah dunia berhenti berputar. Dengan gerakan yang tenang namun penuh rasa, Teixeira memeluk putrinya. Tangannya bergetar, tubuhnya terasa lemah oleh rindu yang selama ini tak pernah ia ungkapkan.

“Ayah,” bisik Paulina lirih, untuk pertama kalinya memanggil pria di depannya dengan sebutan itu.

Teixeira menghela napas panjang, seolah semua penyesalan dan kerinduan yang terpendam akhirnya bisa ia lepaskan.

“Maafkan aku,” ucapnya lirih sambil merengkuh wajah Paulina, mencium keningnya dengan lembut, penuh cinta yang tak pernah tersampaikan.

Setelah sekian puluh tahun, dua jiwa yang pernah terpisah lautan akhirnya dipertemukan. Tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan momen itu. Hanya air mata yang berbicara, memeluk keheningan yang bermakna lebih dari seribu ungkapan.

Setelah pertemuan itu,  kehidupan Paulina dan Teixeira mulai terjalin kembali, perlahan tetapi pasti. Tuhan telah menuntun mereka melewati segala cobaan, membuktikan bahwa tak ada jarak atau waktu yang mampu menghalangi cinta seorang ayah dan anak. Sebuah cerita yang bermula dari perjalanan panjang, kini berakhir dengan keindahan yang dirangkai oleh takdir Tuhan.

Segala sesuatu memang indah pada waktunya.

Ribeira de Pena, 30.09.2024

(Amo Ameu TL)

relavante