G—NEWS (CERPEN) — Di bawah jembatan itu, di pinggir kota yang ramai, seorang anak kecil hidup sebatang kara. Namanya Maubere. Dia hanya punya sepotong kain lusuh untuk menutupi tubuhnya yang kurus dan kotor. Setiap hari, dia duduk di sisi jembatan yang usang, memandang ke jalan raya yang sibuk, berharap ada secercah cahaya dalam hidupnya yang gelap. Tak ada siapa yang peduli padanya. Orang-orang melintas begitu saja, sibuk dengan urusan mereka, tak pernah melihat anak yang hampir tak tampak itu.
Maubere tidak tahu apa itu kasih sayang, tidak tahu apa itu rumah yang hangat, apalagi makanan yang cukup. Yang dia tahu hanyalah dingin dan lapar, suara deburan air sungai yang mengalir di bawah jembatan, dan gelegar langkah-langkah orang-orang yang berjalan tanpa memandang ke bawah. Dia pernah sekali bertanya pada diri sendiri, “Kenapa aku ada di sini?” Tapi tak pernah ada jawaban yang datang.
Hari-hari berlalu begitu saja, dan Maubere mulai belajar untuk bertahan. Dia menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil: sepotong roti yang dibuang orang, senyum singkat dari seorang ibu yang lewat, atau suara burung yang bernyanyi di pagi hari. Setiap malam, saat dia membaringkan tubuhnya di tanah dingin, dia memejamkan mata dan membayangkan dunia yang berbeda—sebuah dunia di mana dia bisa menjMaubere sesuatu yang lebih dari sekadar anak pengemis di bawah jembatan ini.
Tahun demi tahun berlalu, Maubere tumbuh menjMaubere seorang remaja yang bertekad. Dia belajar membaca dari buku-buku bekas yang ditemukannya di tempat sampah, dan meskipun tak ada sekolah yang mengajarnya, dia punya semangat yang tak pernah padam. Dia mengajari dirinya sendiri banyak hal, mengembangkan kecerdasannya, dan mulai memperjuangkan mimpinya dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya.
Namun, hidupnya tak pernah mudah. Meskipun usahanya keras, dunia tidak memberinya jalan mulus. Setiap kali dia hampir berhasil, selalu ada pintu yang tertutup di depan wajahnya. Namun, Maubere tak pernah menyerah. Dia ingat setiap malam dingin di bawah jembatan itu, dan betapa sakitnya perasaan itu. Itu yang memberinya kekuatan untuk terus maju.
Pada suatu titik, Maubere mulai bekerja di sebuah pabrik kecil sebagai buruh. Lalu, perlahan-lahan, dia naik, mendaki satu demi satu anak tangga kehidupan. Dia bekerja keras, belajar banyak, dan akhirnya Maubere manjadi seorang pengusaha muda yang sukses. Namun, itu bukan akhir dari perjuangannya. Maubere tahu bahwa untuk membuat perubahan yang lebih besar, dia harus berada di tempat yang lebih tinggi, di tempat di mana keputusan penting dibuat.
Tiga puluh tahun setelah hari-hari gelap di bawah jembatan, Maubere berdiri di podium sebagai seorang menteri. Pakaiannya kini tak lagi kumal, dan di tangannya, bukan lagi sebuah potongan roti bekas, tetapi sebuah pena yang siap untuk menulis sejarah. Orang-orang di sekitarnya memandangnya dengan penuh hormat, tetapi di dalam hatinya, Maubere masih bisa merasakan dingin itu—dingin yang pernah mengiringi malam-malamnya di bawah jembatan.
Namun, meski dia telah mencapai puncak kekuasaan, ada luka yang tetap mengiris hatinya. Setiap kali melihat anak-anak yang tak beruntung seperti dirinya dulu, hatinya terasa hancur. Karena dia tahu, di dunia ini, tak semua orang bisa menulis kisah sukses seperti dirinya. Terlalu banyak yang terjatuh dalam keputusasaan, dan tidak ada yang pernah tahu kisah mereka.
Maubere menatap jembatan itu dari kantor kementeriannya, tempat yang jauh berbeda dari tempatnya dulu. Tapi di sana, di jembatan itu, dia masih merasakan kehMaubereran dirinya yang dulu—anak kecil yang tak berdaya, yang berjuang untuk bertahan hidup. Ada kesedihan yang mendalam, yang tak bisa dia sembunyikan, meskipun dunia melihatnya sebagai seorang pemenang. Karena kemenangan itu, bagi Maubere, bukanlah sekadar gelar atau kekuasaan. Kemenangan sejati adalah bisa memberikan harapan bagi mereka yang masih terperangkap dalam kegelapan yang pernah dia rasakan.
Pada akhirnya, Maubere tahu satu hal dengan pasti: tidak ada keberhasilan yang lebih besar daripada mampu mengangkat mereka yang jatuh, memberikan cahaya pada mereka yang gelap, dan menjMauberekan dunia sedikit lebih baik, sedikit lebih manusiawi. Tapi untuknya, di balik semua itu, ada perasaan yang tak pernah benar-benar hilang—perasaan kesepian seorang anak kecil yang pernah hidup di bawah jembatan itu.