G-NEWS (CERPEN) — Bersama kakak Plácido, kami adalah sepuluh bersaudara, walau satu adik laki-laki telah kembali ke pangkuan Tuhan saat masih bayi. Kini kami yang masih mengembara di dunia ini berjumlah sembilan orang. Di zaman sekarang, jumlah anak lebih dari dua, mungkin sudah jarang kita temui.
Rasanya sungguh ajaib, jika saya membayangkan bagaimana orang tua kami dulu membesarkan kami. Sungguh ajaib (Setiap masa punya cerita sendiri). Syukurlah kami semua bertumbuh sehat dan kini masing-masing telah mandiri, alias berdiri di atas kaki sendiri.
……
Kedekatan kami sebagai anak dengan orang tua, kakak dengan adik inilah, yang membuat tali persaudaraan itu sangat kuat. Satu sakit, yang lain ikut merasakan.
Mungkin karena lahir dari satu kandungan yang sama, ikatan batin itu dirasakan begitu erat.
Saya anak kelima di antara sepuluh bersaudara (Bapa dan mama, sampai saat ini masih dalam keadaan sehat. Syukur Tuhan masih memberi mereka umur panjang).
Sebagai anak di posisi tengah, tentu saya menjadi penyeimbang antara kakak dan adik-adik. Sejauh ini, semua masih baik-baik saja, dan semoga tetap demikian, ke depannya.
……
Ketika saya mendapat kabar tentang keberadaan kakak Plácido waktu itu, hati ini terus berdebar, rasanya ingin segera bertemu kakak dan keluarganya di Kalimantan. Niat ini pun saya sampaikan kepada mama, bapak, dan keluarga. Saya menyampaikan bahwa setelah menyelesaikan masa Praktek (TOP), saya tidak bisa berlibur ke Timor Leste kali ini, tetapi ingin pergi menemui kakak di Kalimantan (Tentu orang tua menginginkan, agar saya berlibur bersama mereka setelah 1, 1/2 tahun tidak pergi ke rumah, karena harus praktek masa TOP di Manggarai).
Niat hati untuk pergi menemui kakak ini sempat mengganggu perasaan orang tua dan sebagian saudara, terutama mama. Mama saat itu berkata, “Anak Frater, boleh jalan, tapi hati-hati di sana, dan jangan lupa kembali.” Sementara beberapa saudara lainnya lebih was-was, takut saya bisa mengalami nasib yang sama seperti kakak, pergi ke pedalaman dan tak bisa pulang lagi.
Ya, namanya manusia, tentu mereka was-was.
Semua saya serap dan pertimbangkan baik-baik. Banyak juga cerita beredar bahwa orang-orang Dayak berbahaya, hati-hati dengan mereka. Jika tidak hati-hati, kita tidak akan bisa kembali.
Cerita-cerita ini bisa menggiring kita menuju KEPUTUSASAAN, jika keyakinan diri tidak kuat. Namun, gejolak dalam sanubari justru memaksa saya untuk segera PERGI menemui kakak.
Dalam doa-doa, saya merenung, sembari melihat perjalanan hidup saya.
Apakah saya harus takut dengan cerita-cerita ini?
Apakah benar bahwa orang Dayak itu “JAHAT,” menyerang orang tanpa SEBAB?
Bukankah Tuhan Yesus yang saya imani, mengatakan dalam Injil-Nya:
“TENANGLAH! AKU INI, JANGAN TAKUT” (yang kemudian menjadi moto tabisan imamat saya),
Seruan Yesus ini, muncul ketika para murid dilanda badai di atas perahu.
Mengapa mereka takut padahal mereka sedang bersama Tuhan, pencipta dan penguasa alam semesta?
Toh, pada akhirnya badai reda, dan semua baik-baik saja.
Refleksi-refleksi pribadi ini menghapus semua keraguan dan meyakinkan saya untuk berani mengatakan kepada orang tua dan keluarga bahwa: SAYA HARUS PERGI MENCARI DAN MENEMUI KAKAK PLÁCIDO YANG SUDAH 99% DITEMUKAN.
Sempat sampailah saya pada satu titik refleksi seperti ini:
“Kalau saya pergi membawa pedang, pastilah orang-orang di sana pun menjemput saya dengan pedang. Tetapi kalau yang saya bawa adalah ‘HATI’ (ketulusan, keikhlasan, keramahan, kebaikan), pastilah orang-orang di sana pun menjemput saya dengan ‘HATI’ (Ketulusan, keikhlasan, keramahan, kebaikan).
Dengan semua refleksi ini, saya DITEGUHKAN, dan tepat pada tanggal 10 Desember 2012, saya terbang menuju Kalimantan.
Ketika masih di ibu kota Palangka Raya, komunikasi dengan orang tua dan keluarga di Timor Leste lancar (Walau kala itu masih dalam SMS biasa, belum ada WhatsApp, dan Facebook pun belum lazim seperti saat ini). Ya, bisa dikata bahwa komunikasi ke rumah tidak sulit-sulit amat.
Yang menarik ketika saya sudah berangkat ke tempat kakak di pedalaman, daerah Hulu, Kabupaten Kurun, di Desa Tumbang Posu. Banyak pemandangan baru yang saya dapatkan di sana.
Ketika berlayar bersama perahu motor kecil yang mereka sebut ‘KLOTOK (dalam bahasa Dayak setempat)’, banyak keindahan alam yang dinikmati.
Kalimantan terkenal dengan alamnya yang masih luar biasa. Perumahan penduduk di pesisir Sungai Kahayan bertebaran. Alamnya eksotik.
Dalam hati saya berujar: “Ternyata belasan tahun, kakak saya bersahabat dengan alam ini.
Mungkin alam pun sudah merasa dirinya bagian dari mereka.”
Itu tampak dalam bahasa Dayaknya yang sangat fasih dalam percakapannya bersama penduduk desa itu.
Yang menarik, ketika mulai berlayar di perahu motor (“KLOTOKl”, sebutan mereka), sinyal handphone sudah tidak berfungsi.
Kami berada di luar jangkauan, bak dunia lain.
Maka sudah pasti sejak saat itu, tidak ada lagi komunikasi dengan keluarga di Timor Leste.
Pada tanggal 12 Desember 2012, kami bertemu di desa yang diselimuti alamnya yang masih natural.
Rumah panggung kakak menjadi saksi pertama perjumpaan kami.
Lampu pelita dan genset tetangga yang tentu punya keterbatasan, menerangi kami di malam hari.
Ya, kami berada dalam suatu dunia yang jauh dari hiruk pikuk transportasi.
Suara-suara alam menyapa, mungkin perlu belajar untuk mendengar apa pesan mereka.
Tetapi sesuatu yang pasti, seminggu di tempat itu, komunikasi dengan keluarga di Timor Leste macet total.
Saya membayangkan kepanikan keluarga, kegelisahan awal mereka, tentang niat awal yang saya sampaikan, untuk datang menemui kakak, pasti berantakan.
Tapi apalah daya, memang alam menuntut demikian.
Mungkin juga pertanda bahwa kami bisa ada waktu untuk bercerita, tanpa terpengaruh dengan komunikasi ke tempat lain.
Kami perlu menenun kembali tali yang lama putus.
Kehilangan yang lama, kini ditemukan lagi.
Ya, seminggu kami tidak ada komunikasi. Handphone Nokia tua yang saya punya pun, baterainya habis tanpa daya.
Setelah seminggu kami bersama di rumah, menyulam dan menenun kembali benang kekeluargaan yang lama pudar, kini kami disegarkan.
Semalam sebelumnya, saya meminta kakak untuk men-cash HP saya di rumah tetangga yang malam itu menghidupkan gensetnya.
Itu pun dengan waktu yang sangat terbatas. Tetapi syukurlah, cukup buat menghidupkan handphone dan bisa berkomunikasi dengan keluarga di Timor Leste nantinya.
Saya menyampaikan kepada kakak bahwa, kita harus mencari tempat di mana ada sinyal telfone dan harus mengabarkan ke keluarga bahwa saya sudah bertemu kakak dan keluarga di sini dan semua baik-baik saja.
Maka semua setuju, keesokan harinya, kami berjalan melewati hamparan hutan rimba, menyusuri pepohonan besar dengan alamnya yang masih memelihara binatang-binatang buas seperti beruang, harimau, dan lainnya.
Semua harus membawa parang, karena binatang buas bisa kapan saja menyerang.
Ini hal yang baru buat saya.
Ya, waspada saja.
Malam yang sunyi, selimut gelapnya alam di Tumbang Posu menyelimuti istirahat kami.
Ayam kampung berkokok, hari baru telah tiba.
Gelap tidak selamanya gelap, Tuhan menjanjikan terang di hari baru.
“Ayo semua sarapan pagi,” terdengar suara kakak ipar, memanggil kami semua di rumah itu, sebelum kami berangkat ke puncak gunung mencari titik di mana ada sinyal HP untuk menghubungi keluarga di Timor Leste.
Setelah sarapan, kami masing-masing mempersiapkan diri dan berangkat menyusuri hutan rimba.
Alamnya masih sangat asli dari ciptaan Sang Pencipta.
Belum ada campur tangan manusia yang merusak seperti di daerah-daerah lain. Kadang harus mendaki, melewati sungai-sungai kecil yang mengalir di antara semak-semak rimba, sambil bercerita dan tertawa bersama ponakan-ponakan, membuat perjalanan yang jauh terasa dekat. Ponakan-ponakan kadang berseru kepada saya, “Ayo mamang (om dalam bahasa Dayak), jalan cepat.”
Ah, ponakan-ponakanku ini sangat lincah. Mungkin alam ini yang membentuk mereka.
Tibalah kami di suatu puncak bukit.
Rupanya itu salah satu kebun masyarakat, sebab ada beberapa tanaman umbian dan pohon-pohon yang tumbang serta gubuk kecil tua yang kokoh berdiri.
Saya pun menghidupkan handphone (nampak daya baterai hanya 40%), semoga bisa bertahan hingga kami berkomunikasi dengan mama bapa serta keluarga di Timor Leste.
Ketika HP telah aktif, saya berjalan keliling hingga terdengar pesan masuk. “Mantap, di sinilah sudah, kita menemukan sinyal,” ujar saya kepada kakak.
Mari kita menelepon adik Nuel di Jakarta terlebih dahulu.
Mengabarkan kepada beliau sekaligus meminta tolong untuk membantu mengisi pulsa agar bisa menelepon ke Timor Leste. Karena tentu panggilan roaming akan lebih mahal.
Adik Nuel pun mengangkat panggilan kami, suka ria tampak dari suaranya yang kami dengar. Tanpa panjang lebar, saya meminta bantuannya untuk mengisi pulsa.
Kurang lebih satu juta rupiah rupiah, pulsa yang diisi (karena harus beberapa kali pengisian) untuk membuat panggilan ke Timor Leste kala itu.
Mama dan kakak Plácido pertama kali saling menyapa dan mendengar suara setelah 17 tahun tiada.
Kakak sulung José dan seluruh keluarga berkumpul di rumah di Timor Leste, mendengarkan kembali suara anak, adik, dan kakak yang lama pergi dari keluarga.
Terdengar suara tangisan isak-isak mama dan juga kakak di bukit itu.
Suasana haru, dada bergetar, emosi rindu anak dan mama kembali berpaut. Bukit itu, jadi saksi pertemuan suara anak dan mama serta keluarga di Timor Leste.
Ketika mama mengangkat telpon, Kakak dengan spontan berkata: “Ina, nea hau, Sidu. Hau sei moris. Hau kasoru tian alin Frater. Nanti hau sei fila ba Timor.” Demikian ujar kakak Plácido kepada mama dalam bahasa Tetun Suai yang diterjemahkan seperti ini: “Mama, ini saya Sidu. Saya masih hidup. Saya telah bertemu adik Frater. Nanti saya akan kembali ke Timor Leste”
Dan mama pun membalas dalam bahasa Tetun Suai-nya: “Sidu, o iha nebe durante nea, ami buka o. Ema haak o mate tian. Maski hau fuan, la fiar kaak o mate, maibe tan o nungka fo kabar, ami mos hanoin, o mate tebes tian. Hare dale didiak ho alin frater, urus buka dalan fila mai Timor. Ami sei moris ne’e, bele hasoru ami.” (Artinya: “Sidu, kamu di mana selama ini. Kami terus mencarimu. Ada yang mengatakan kamu telah meninggal dunia. Walau hati kecil saya tidak yakin seperti itu. Namun karena kamu lama tidak memberikan kabar, kami juga berpikir kamu benar telah pergi. Nanti bisa atur bersama adik Frater, urus bagaimana caranya, kamu bisa kembali ke Timor Leste. Mumpung kami masih hidup)”.
Kurang lebih komunikasi kami berlangsung selama dua puluh menit, kelegaan muncul dalam hati.
Perjalanan pulang kembali ke rumah terasa sangat ringan.
Kaki melangkah dengan penuh harapan.
Anak yang hilang kembali bertemu mamanya. Walau ini masih melalui telepon, tetapi rasa lega itu bangkit.
Terima kasih Tuhan. Dalam suara, kakak telah bertemu dengan mama dan keluarga.
Semoga Engkau lancarkan semua urusan kembalinya ke pangkuan ibu yang mengandungnya, tanah yang membesarkannya, Suai, Timor Leste.
Kami pulang dengan penuh antusias.
Pikiran kakak hanya satu: SAYA HARUS KEMBALI KE SUAI, TIMOR LESTE, memeluk mama dan bapa serta keluarga semua.
(Bersambung…>Ditunggu Episode berikutnya RAYAKAN NATAL BERSAMA Di Paroki Kurun, setelah sekian tahun di pedalaman dan tidak bisa merayakan Natal)
(Ditunggu episode selanjutnya)